KUALITAS
JASA
·
Kurva No.2 menunjukan kebutuhan rasional, kenaikan
pemenuhan kebutuhan jenis ini memberikan dampak kenaikan kepuasan secara
linier. Umumnya kebutuhan yang dapat dikatakan pelanggan jatuh kedalam kategori
ini.
·
Kurva No.3 menunjukan kebutuhan delighter/exciting,
pelanggan sendiri tidak dapat menyadari adanya kebutuhan ini. Contohnya adalah
produk-produk inovatif yang memiliki atribut baru yang unik sehingga dapat
memberikan kepuasan yang lebih dari yang diharapkan, dengan usaha/biaya sedikit
dapat memberikan penghasilan/keuntungan yang besar. Atribut baru tersebut bila
tidak diperbaharui lama-lama menjadi usang sehingga kemudian menjadi basic needs.
Kepuasan
Pelanggan (Customer Satisfaction)
Pelanggan
akan memperoleh pengalaman mengenai kinerja suatu produk / jasa setelah
mengkonsumsi suatu produk / memperoleh jasa, hal ini akan menimbulkan perasaan
puas atau tidak puas. Lele and Sheth (1991) memiliki pendapat mengenai kepuasan
pelanggan sebagai berikut : “CustomerSatisfaction is key to long term
profitability and keeping the customer happy iseverybody’s business”.
(Kepuasan pelanggan adalah kunci menuju keuntungan jangka panjang dan
memberikan kesenangan kepada pelanggan merupakan tugas tiap orang). Sedangkan
Parasuraman, Zeithmal and Berry (1985) mendefinisikannya : “Customer
satifaction is customer perception of a singleservice experience” (Kepuasan
pelanggan adalah persepsi konsumen terhadap satu jenis pelayanan yang
dialaminya )
Kinerja dari
produk / jasa yang dirasakan secara subyektif sangat tergantung kepada
penilaian subyektif dari masing-masing pelanggan. Dalam kenyataannya,mutu dari
suatu produk/jasa dilihat dari sudut pandang pelanggan berbeda dengan mutu
obyektif dari produk/jasa tersebut. Hal ini disebabkan mutu yang dirasakan
pelanggan dan persepsi yang dimiliki didasarkan pada persyaratan individual
masing-masing pelanggan.
Metode-metode Kualitas
Perkembangan Metode Kualitas
Menurut perkembangannya, metode-metode
kualitas terbagi kedalam tiga generasi,antara lain :
a.
Traditional Quality Methods
Metode tradisional ini diciptakan
dan dipakai semenjak perang dunia kedua. Metode ini menekankan kepada
pengurangan cacat (defects) dari
suatu produk yang hendak dikonsumsi oleh pelanggan. Metode tradisional ini
didasarkan pada pemeriksaan untuk memastikan bahwa persentase kecacatan atau
defek masih dalam batas toleransi pelanggan.
b.
Zero Defects Methods
Terbentuk setelah perang dunia
kedua. Metode ini menekankan kepada penelusuran / deteksi terhadap cacat yang
timbul selama proses produksi dan mencegah timbulnya cacat/defek. Tindakan
korektif diarahkan pada penyebab kecacatan/defek serta pada pencegahan
kejadiannya.
c.
Modern Quality Methods
Muncul dan berkembang semenjak era 70-an. Metode ini lebih menekankan
kepada “nilai” dari pelanggan. Nilai pelanggan ini bisa meningkat selain akibat
kinerja yang lebih baik juga oleh karena life
cycle cost yang lebih rendah. Nilai produk sebagian besar ditentukan selama
tahap desain.(Amihud Hari, 1996)
Quality Function Deployment
Sejarah QFD
Quality Function Deployment (QFD) diperkenalkan pertama kali oleh
Shigeru Mizuno dan Yogi Akao dari The Tokyo Institute of Technology pada tahun
1960-an. Teknik QFD digunakan pertama
kali pada Mitsubishi Heavy Industries Ltd di Kobe Shipyard Jepang pada tahun
1972. Kemudian pada awal tahun 1980-an
konsep QFD diterapkan di Amerika Serikat oleh Ford Motor Co., dan Xerox. Sejak
saat itu QFD banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan besar seperti Procter&Gambler,
General Motors, Hewlet Packard, Digital Equipment Co., dan AT&T untuk
memperbaiki komunikasi, pengembangan produk, proses, dan system pengukuran.
Terminologi dan Definisi
Kata Quality Function Deployment berasal dari bahasa Jepang (Kanji)
dengan karakter huruf China yang berjumlah enam karakter, yaitu Hin Shitsu
(quality), Ki Nou (function), Ten Kai (deployment)
.
Secara
keseluruhan, enam karakter tersebut mempunyai arti “Bagaimana kita memahami kualitas yang diharapkan pelanggan serta
mewujudkannya melalui cara yang dinamis” (Cohen, 1995; Tottie and Lager,
1995; Martins and Aspinwall, 2001; Chow-Chua and Komaran, 2002).
QFD
juga dikenal dengan sebutan “Customer-driven
engineering” atau “Matrix product
planning”. Konsep ini secara umum berdasarkan pada suatu
urutan operasi yang menterjemahkan suara pelanggan ke dalam jasa atau produk
akhir. (Smith and Angeli, 1995).
Mazur
(1995) mendefinisikan QFD sebagai suatu system
dan prosedur untuk membantu perencanaan dan pengembangan pelayanan serta
memastikannya sesuai atau melebihi harapan pelanggan.
Menurut
Akao (1990), Konsep QFD dikembangkan untuk menjamin bahwa produk yang memasuki
tahap produksi benar-benar akan dapat memuaskan kebutuhan konsumen dengan jalan
membentuk tingkat kualitas yang diperlukan dan memenuhi kesesuaian maksimum
pada setiap pengembangan produk.
Manfaat QFD
Dari
beberapa literatur yang telah dipelajari sebelumnya, berhasil dihimpun beberapa
manfaat metode QFD, antara lain :
·
Mampu memahami lebih mendalam berbagai keinginan / kebutuhan
pelanggan.
·
Mampu mengurangi waktu untuk memasarkan produk barang/jasa sekitar
30%-50%.
·
Mampu memahami prioritas yang ditetapkan oleh pelanggan.
·
Meningkatkan komunikasi antar departemen.
·
Dapat segera menemukan permasalahan pada awal proses desain.
·
Meningkatkan pangsa pasar
QFD dan Rumah Kualitas (House of
Quality)
Ada
empat fase dalam QFD yang bisa terpenuhi melalui sejumlah seri matriks.
Masing-masing fase memiliki matriks yang terdiri dari kolom vertikal (yang
disebut dengan “WHAT”) serta baris horizontal (yang disebut dengan “HOW”).
Kolom WHAT berisi persyaratan-persyaratan pelanggan (customer requirements) sedangkan
“HOW” berisi tentang cara-cara untuk memenuhi persyaratan-persyaratan pelanggan
tersebut. Pada masing-masing tahap,
elemen “HOW” akan menjadi elemen “WHAT” pada fase berikutnya
Tahapan proses QFD adalah sebagai
berikut:
Tahap 1 (WHAT) : Mendeteksi,
mengumpulkan, mengklasifikasikan dan menganalisa kebutuhan-kebutuhan dari
pelanggan (voice of the customers) menjadi sejumlah persyaratan-persyaratan
pelanggan. Alat bantu dalam tahap ini antara lain adalah exploratory factor
analysis untuk menganalisa atribut-atribut yang telah terkumpul, Affinity
Diagram, Analytic Hierarchy Process, ataupun menggunakan pendekatan insiden
kritis.
Tahap 2 (Customers Importance
Rating) : Menetapkan tingkat kepentingan relatif dari masing-masing kebutuhan
pelanggan.
Tahap 3 (Competitive Assessment)
: Membandingkan fitur atau layanan sejenis yang dimiliki oleh pesaing dengan
tujuan merencanakan pada posisi bersaing dimana perusahaan menetapkan fitur
atau layanan
tersebut terhadap fitur atau
layanan serupa yang dimiliki pesaing (benchmarking).
Tahap 4 (HOW) : Terletak di
plafon dari house of quality, memuat karakteristik-karakteristik dari produk.
Tahap 5 (relationship matrix) :
Terletak di bagian tengah dari house of quality. Pada bagian merupakan tempat
interrelasi antara kebutuhan pelanggan dengan karakteristik teknis.
Tahap 6 (importance of
characteristics) dan Tahap 7
(competitive assessment) : Kepentingan relatif dari fitur-fitur rekayasa
(karakteristik produk) dan penentuan kinerja dari pesaing pada variabel yang
sama.
Tahap 8 (trade-off) : Atap dari
house of quality ini menyediakan korelasi (trade-off) diantara
karakteristik-karakteristik produk.
Tahap 9 (target values) : Pada
tahap ini dirancang tujuan dari masing-masing karakteristik produk dalam
memenuhi kebutuhan pelanggan, kinerja persaingan serta trade-off dari
masing-masing karakteristik.
Penerapan QFD pada Industri Jasa
Pelayanan Kesehatan / rumah sakit
Dalam industri
manufaktur, QFD memang telah banyak diterapkan namun pada industri jasa seperti
pelayanan kesehatan, penerapan QFD masih terbilang sedikit. Hal ini tidak lepas
dari kompleksitas dari proses karena subyek dari QFD bukan merupakan produk
yang tangible. Terlebih lagi, seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai tiga ciri khusus industri jasa
pelayanan kesehatan khususnya rumah sakit yang meliputi 1) bahan baku dalam
industri jasa pelayanan kesehatan adalah manusia, 2) adanya variasi jenis
pelanggan yang terlibat, dan 3) proporsi tenaga professional kesehatan yang
lebih besar daripada tenaga biasa, hal ini mengakibatkan munculnya variasi
dalam opini maupun preferensi.
Adanya ciri-ciri khusus tersebut
seringkali menyebabkan kualitas dari suatu pelayanan rumah sakit tidak mudah
dijelaskan dengan tepat (Takeuchi and Quelch, 1983). Lebih jauh, ciri-ciri
khusus dari layanan rumah sakit yang tidak terpisahkan tersebut nampaknya bisa
mempersulit bagi customer untuk
mengidentifikasi kebutuhan dan menentukan prioritas harapan mereka terhadap
layanan rumah sakit. Hal ini berdampak bagi manajemen berupa sulitnya
memasukkan harapan customer kedalam paket layanan rumah sakit. Keadaan ini bisa
memperburuk upaya meningkatkan kualitas jasa rumah sakit. Oleh karena itu, penerapan QFD dalam industri
jasa pelayanan kesehatan sangatlah kompleks. apalagi jika QFD diterapkan pada
rumah sakit pendidikan atau tipe A misalnya.
Pada prinsipnya, penerapan QFD
pada industri jasa pelayanan kesehatan adalah untuk memahami apa yang diinginkan
oleh pelanggan, baik dalam pelayanannya maupun penampilan kinerjanya. QFD bisa
digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan
informasi tentangapa yang sebenarnya dicari pasien ketika merekamembutuhkan
layanan rumah sakit. QFD tidak didesain untuk menggantikan alat
manajemen atau metode kualitas yang biasanya dipakai oleh rumah sakit,
melainkan bekerja bersama untuk memenuhi keinginan pelanggan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar